Keterbatasan Kemampuan Manusia
A.
Sumber
daya alam dan landasan kebijaksanaan
Krisis
lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari
pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan
pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia
berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada
norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan
norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam
hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan
dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis
kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi,
yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun
akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
manusia.
Pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara,
asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya yang beriman
dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Sasaran
pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut; pertama, tercapainya keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Kedua,
terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki
sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup. Ketiga, terjaminnya
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan. Keempat, tercapainya
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kelima, terkendalinya pemanfaatan
sumberdaya secara bijaksana. Keenam, terlindunginya NKRI terhadap dampak usaha
dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Dari sinilah jelas bahwa: setiap warganegara atau
masyarakat tentunya mempunyai hak yang sama atas pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga, setiap orang mempunyai hak
untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selain mempunyai hak,
setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan sekaligus perusakan lingkungan hidup.
Dari
gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya untuk terus menjaga
kelestarian secara bersinergi bagi semua pihak. Baik dari perwujudan kebijakan
pemerintah dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat. Jika pemerintah mampu
memberikan kebijakan yang berpihak terhadap kelestarian lingkungan, maka dengan
sendirinya masyarakat juga akan mengikuti dan bahwa mendorong terwujudnya
lingkungan yang lestari dan kenyamanan.
Realitas memperlihatkan kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun.
Realitas memperlihatkan kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun.
Salah
satu data yang dapat dijadikan rujukan yakni menggunakan brown indicator yakni
Jumlah emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton). Konsentrasi CO2 mengambarkan
informasi tentang perubahan iklim. Gas rumah kaca (GRK) antara lain CO2, metan,
dan CFC yang dihasilkan oleh kegiatan manusia (antropogenik), dalam konsentrasi
yang berlebihan di lapisan biosfer memicu terjadinya pemanasan global dan
selanjutnya mengakibatkan perubahan iklim. Emisi GRK dinyatakan dalam
konsentrasi CO2 atau CO2-equivalent. Penyebab lain kondisi lingkungan hidup
sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus
menurun adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan
pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan
politik dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan
hidup.
Seperti
diketahui, pada saat ini perjuangan untuk melestarikan lingkungan hanya
didukung sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik
dalam pengambilan keputusan. Seperti kelompok – kelompok peduli
lingkungan, LSM, individu – individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan
dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan, serta
kalangan akademisi. Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik
dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman
manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar
terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara
pandang dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang
memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa
manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya
kerusakan lingkungan (White,,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan
Naess, 1993). Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif
dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungannya. Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme
dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk
kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara
kita.
Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam,
baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam
pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Dalam
bukunya, Ethica Nocomachea, Aristoteles menandaskan, “semua pengetahuan
dan setiap usaha manusia itu selalu mengejar suatu tujuan tertentu yang
dipandangnya baik atau berharga.”. Masalah mulai timbul pada saat kita
menganalisis arti dan tujuan yang baik itu. Apakah kebaikan tersebut adalah
kebaikan individual, sosial atau ekologis? Itulah masalah pokok yang telah
melahirkan banyak dilema etis.
Untuk
keluar dari suatu dilema persoalan terutama masalah etika lingkungan hidup,
diperlukan pijakan keyakinan yang dapat mengarahkan secara utuh. Agama dalam
hal ini Islam dapat memberikan suatu keyakinan pijakan terhadap persoalan
pelestarian lingkungan.
Upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden.
Upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden.
B.
Pembahasan
Apa
yang dimaksud dengan lingkungan hidup? Pertanyaan mendasar tersebut harus
terjawab sebelum melangkah lebih jauh tentang pelestarian lingkungan hidup.
Lingkungan hidup merupakan ruang kehidupan yang terdiri beberapa komponen yang
saling berinteraksi secara seimbang. Dalam Dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy disebutkan bahwa Etika lingkungan hidup adalah kajian dalam
filsafat yang mempelajari hubungan moral manusia dan kedudukan nilai moral
lingkungannya yakni lingkungan di luar manusia.
Proses
interaksi ini disebabkan oleh fungsi yang berbeda dari masing-masing setiap
individu makhluk hidup dan berusaha menjaga dan mempertahankan eksistensi dan
fungsinya. Komponen yang terdapat di dalam ruang kehidupan tersebut adalah :
• Lingkungan fisik (anorganik), lingkungan yang
terdiri dari gaya kosmik dan fisigeografis : tanah, udara, air, radisai, gaya
tarik, ombak dan sebagainya.
• Lingkungan biologi (organic), segala sesuatu yang bersifat biotis
• Lingkungan sosial, terdiri dari :
• Lingkungan biologi (organic), segala sesuatu yang bersifat biotis
• Lingkungan sosial, terdiri dari :
Ø Fisiososial,
yaitu yang meliputi kebudayaan materiil : peralatan, senjata, mesin, gedung dan
sebagainya
Ø Biososial
manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksi terhadap sesamanya dan
hewan beserta tumbuhan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang
berasal dari sumber organik.
Ø Psikososial,
yaitu yang berhubungan dengan tabiat bathin manusia, seperti sikap, pandangan,
keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat dari kebiasaan, agama, ideology, bahasa
dan lain-lain.
Ø Lingkungan
komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa
lembaga-lembaga masyarakat
Dengan
pemahaman lingkungan hidup diatas, maka upaya pelestarian lingkungan hidup
adalah upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi yang
melekat dan interaksi yang terjadi diantara komponen tersebut. Adanya perbedaan
fungsi antara komponen dan pemanfaatan dalam pembangunan, maka pelestarian
tidak dipahami sebagai pemanfaatan yang dibatasi. Namun pelestarian hendaknya
dipahami sebagai pemanfaatan yang memperhatikan fungsi masing-masing komponen
dan interaksi antar komponen lingkungan hidup dan pada akhirnya, diharapkan
pelestarian lingkungan hidup akan memberikan jaminan eksistensi masing-masing
komponen lingkungan hidup. Dengan adanya jaminan eksistensi, lingkungan hidup
yang lestari dapat diwujudkan.
Upaya
pelestarian lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh banyak pihak selama ini
menunjukan banyak keberhasilan dan tidak sedikit yang mengalami hambatan dalam
mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam masing-masing aspek. Upaya-upaya
tersebut lebih terlihat sebagai gerakan yang berdiri sendiri di masing-masing
lokasi, kasus dan aspek lingkungan yang dihadapi. Selain itu, upaya pelestarian
yang telah dilaksanakan kurang dirasakan manfaat /kegunaan baik secara jangka
menengah maupun jangka panjang.
Menurut
Muhammad Ridha Hakim, seorang Project Leader WWF Indonesia Program Nusa
Tenggara menuturkan bahwa masalah kerusakan hutan dan lingkungan, pada dasarnya
bertumpu pada lima masalah pokok yaitu : hukum dan kebijakan, peminggiran akses
dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya hutan, sistem tata niaga kayu yang tidak
kondusif, bias operasional pengelolaan hutan, dan adanya pengaruh perubahan
makro. Mana dari berbagai masalah tersebut yang 3 menjadi akar masalah ? Jika
berbagai masalah pokok tersebut dirangkai sebagai sebuah proses hubungan sebab
akibat, maka ditemukan bahwa akar masalah utama kerusakan hutan bersumber
karena adanya kebijakan yang tidak akomodatif. Tertutupnya komunikasi dan
dialogis diantara pengambil keputusan dengan masyarakat dalam proses penyusunan
kebijakan, merupakan faktor utama yang menyebabkan kebijakan menjadi tidak
akomodatif dan realistis. Jika penerapan kebijakan menimbulkan gejolak,
konflik, dan sarat dengan penyimpangan, maka itu merupakan harga yang harus
dibayarkan akibat kebijakan tidak memenuhi aspek-aspek mendasar dalam
penyusunan kebijakan, dalam hal ini aspek filosofis, yuridis, sosiologis,
metodologi, dan ekologi. Taman Nasional atau wilayah konservasi lainnya,
mungkin merupakan prioritas rendah bagi pemerintah daerah, karena berdasarkan
UU, tanggungjawab atas kawasan konservasi tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Sejauh kawasan ini sekarang merupakan peluang yang hilang untuk
menghimpun PAD dibandingkan dengan Hutan Produksi, maka keberadaan kawasan
lindung dan konservasi di suatu daerah dapat dilihat oleh pemerintah daerah
lebih sebagai beban daripada berkah.
Dalam
perspektif filsafat, nalar antroposentrisme merupakan penyebab utama munculnya
krisis lingkungan. Antroposentrisme merupakan salah satu etika lingkungan yang
memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan
paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya.
Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia (the other) hanya akan memiliki
nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak memiliki nilai di dalam
dirinya sendiri. Karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan
sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Cara pandang antroposentris ini
menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan
sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun
sulit terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi berdaya menahan gempuran
keserakahan manusia.
Antroposentrisme
atau ada yang menyebut egosentrisme merupakan buah dari alam pikiran modern
tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di
hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere
Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir
maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam
pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan
menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama. Dari kesadaran
essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan
rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas
kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya
masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat,
yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini.
Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi
industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan.
Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk
memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan
manusia. Karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah
terhadap lingkungan.
Menurut
Hossein Nasr Manusia modern telah mendesakralisasi alam, meskipun proses ini
sendiri hanya di bawa ke kesimpulam logisnya oleh sekelompok minoritas.
Apapalgi alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan
dinikmati semaksimal mungkin.
Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian). Untuk itu diperlukan alternatif landasan etika yang lebih komprehensif yakni etika bersama yang mengikat secara transenden, yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya memiliki garis vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu hendak dibangun?. Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya agama mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia, agama juga merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mudah –untuk tidak mengatakan tidak mungkin- tergantikan oleh ideologi lain, baik humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Agama, nampaknya tampil dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut.
Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian). Untuk itu diperlukan alternatif landasan etika yang lebih komprehensif yakni etika bersama yang mengikat secara transenden, yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya memiliki garis vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu hendak dibangun?. Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya agama mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia, agama juga merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mudah –untuk tidak mengatakan tidak mungkin- tergantikan oleh ideologi lain, baik humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Agama, nampaknya tampil dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut.
Jadi
upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai
landasan etis yang memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama
derajatnya, baik dalam ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun
dalam kerendahannya (etika kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika
bersama yang mengikat secara transenden. Etika semacam ini bukan sekedar teori
moral, melainkan juga sebuah ecosophy karena mencakup teori dan
kearifan hidup (wisdom). Jika krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh
perilaku teknis, tetapi juga disebabkan oleh ecosophy yang salah,
maka upaya mengatasi krisis lingkungan juga bisa dimulai dari ecosophy yang
memposisikan secara tepat hubungan manusia di dalam ekosistem.
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi.
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi.
Siapa
pun tidak bisa begitu saja melupakan bahwa ajaran Agama Islam bukankah
menyerukan manusia untuk ramah terhadap lingkungan? Surat ar-Ruum ayat 41,
al-Baqarah ayat 11-12, 27, 60, 205, Surat Ali Imran ayat 63, Surat al-Maidah
ayat 32-33, 64, Surat al-A’raf ayat 56, 74, 85, Surat Huud 85, 116, Surat
ar-Ra’du ayat 25, Surat an-Nahl ayat 88, Surat as-Syu’ara ayat 151-152, 183,
Surat al-Qashash ayat 77, 83, Surat al-Ankabuut ayat 36 dan surat as-Shaad ayat
28, dll merupakan sebagian dari sekian banyak seruan agama untuk ramah terhadap
lingkungan. Hemat penulis jika toh manusia memiliki kedudukan yang
tinggi (khalifah) ia tidak lain adalah “aristokrat biologis” yang memiliki
tanggungjawab moral dan harus melayani spesies dan alam semesta yang status
biologisnya lebih rendah, bukan justru memanfaatkan kelemahan alam. Dan
bukankah agama-agama pada dasarnya lahir tidak lepas dari situasi histoiris?
Dengan demikian agama membutuhkan pikiran-pikiran kreatif dari umatnya agar pesan-pesannya
tetap kontekstual (shahih li kuli al- zaman wa al-makan). Upaya pikiran kreatif
yang kontekstual dalam bidang lingkungan tidak bisa ditunggu, setiap detik
memiliki konsekuensi terhadap kehidupan manusia
C.
Pengelolahan
sumber daya alam
Ketergantungan dan
tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati Bangsa
Indonesia ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat
bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan,
baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya
diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal
lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan
pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan
masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan
memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan
lokalnya. Hal ini perlu kita cermati mengingat batasan pengertian ini mengacu pada
“Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara” tahun 1999 yang
menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang
memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang
diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakat.
Indonesia
memiliki berbagai sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah
sangat penting dan strategis artinya untuk keberlangsungan kehidupannya sebagai
“bangsa”. Beragamnya keanekaragaman hayati ini bukan semata-mata karena posisi
Negara Indonesia sebagai salah satu negara kaya di dunia dalam keanekaragaman
hayati (mega-biodiversity), akan tetapi justru karena keterkaitannya yang erat
dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural
diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula
sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem
politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan
atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Sudah
banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah
suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan
adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu
sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka
umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang
diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan
tradisional ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang
hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian
Jaya. Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih
tinggi dari yang ditemukan pada suku Dani di Palimo, Lembah Baliem,yang hanya
74 varietas ubi. Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian
besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi
(tata guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas
setempat, lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem
lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat
kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem
lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang
ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas
suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak
dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat “Orang Dayak” di
Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.
Dari
keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip
kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas
masyarakat adat, yaitu antara lain:
1) Ketergantungan manusia
dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan
bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya
2) Penguasaan atas
wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau
kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang
dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di
sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga)
sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan
kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak
contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau
kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan local
3) Sistem pengetahuan dan
struktur pengaturan (‘pemerintahan’) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan
4) Sistem alokasi dan
penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan
berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas
5) Mekanisme pemerataan
distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam
kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip
ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan
pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini
pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur
sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan.
Bagaimana pun, komunitas-komunitas masyarakat adat ini telah bisa membuktikan
diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada.
Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan
menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan
kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya,
termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi
kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan
keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang
berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya
alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka
sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk
kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan
tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal
yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di
Indonesia.
Untuk
menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan
sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan
perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan
keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural,
kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan
pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya,
teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar
mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal
sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang
diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan”
untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa
dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan
SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan
kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang
tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan
pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari
pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih
akomodatif terhadap kepentingan bersama yang “intangible” yang dinikmati
bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem
tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun
kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan
jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) dan jaringan saling
berhubungan (interkoneksi) antar komunitas dan antar para pihak.
Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda
kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik
yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi
seperti ini bisa diciptakan dengan pendekatan informal, misalnya dengan
membentuk “Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam
Wilayah/Daerah” atau “Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah” yang
berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki
posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten
yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam
lembaga seperti ini harus ada
D.
Karakteristik
ekologi sumber daya alam
Sumber
daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam
lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di
dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar
sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan
banyak lagi lainnya.
1.
Sumber daya alam berdasarkan jenis : sumber
daya alam hayati / biotik adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk
hidup. contoh : tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan lain-lain sumber daya
alam non hayati / abiotic adalah sumber daya alam yang berasal dari benda mati.
contoh : bahan tambang, air, udara, batuan, dan lain-lain
2.
Sumber daya alam berdasarkan sifat
pembaharuan : sumber daya alam yang dapat diperbaharui / renewable yaitu sumber
daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan. contoh
: air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan, dan lain-lain sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui / non renewable ialah sumber daya alam yang tidak
dapat di daur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan sekali saja atau tidak
dapat dilestarikan serta dapat punah.contoh : minyak bumi, batubara, timah, gas
alam. sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya / unlimited contoh : sinar
matahari, arus air laut, udara, dan lain lain.
3.
Sumber daya alam berdasarkan kegunaan atau
penggunaannya sumber daya alam penghasil bahan baku adalah sumber daya alam
yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai
gunanya akan menjadi lebih tinggi. contoh : hasil hutan, barang tambang, hasil
pertanian, dan lain-lain sumber daya alam penghasil energy adalah sumber daya
alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi demi kepentingan umat
manusia di muka bumi. misalnya : ombak, panas bumi, arus air sungai, sinar
matahari, minyak bumi, gas bumi, dan lain sebagainya.
E.
Pengelolaan
sumber daya alam
Oleh karena itu, agar
sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal -hal berikut
sangat perlu dilaksanakan.
1. Sumber daya alam harus
dikelola untuk mendapatkan manfaat yang
maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya harus
di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi
sumber daya alam.
sumber daya alam.
3. Diperlukan
kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati perlu adanya
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a.Teknologi
yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber daya untuk
pembaruannya.
b.Sebagian
hasil panen harus digunakan untuk menjamin pertumbuhan sumber daya alam
hayati.
c.Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya dengan daur ulang.
d.Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses pembaruannya.
c.Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya dengan daur ulang.
d.Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses pembaruannya.
F.
Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam
Untuk
menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan
sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan
perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan
keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural,
kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan
pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya,
teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar
mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal
sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang
diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan”
untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa
dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan
SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan
kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang
tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan
pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari
pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih
akomodatif terhadap kepentingan bersama yang “intangible” yang dinikmati
bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem
tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas
masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan
kesaling-tergantungan (interdependency) dan jaringan saling berhubungan
(interkoneksi) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola
dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini
dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi
(participatory democracy).
Kondisi
seperti ini bisa diciptakan dengan pendekatan informal, misalnya dengan
membentuk “Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam
Wilayah/Daerah” atau “Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah” yang
berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki
posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten
yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam
lembaga seperti ini harus ada.
G.
Daya Dukung Lingkungan
Lingkungan
secara alami memiliki kemampuan untuk memulihkan keadaannya, Pemulihan keadaan ini
merupakan suatu prinsip bahwa sesungguhnya lingkungan itu senantiasa arif
menjaga keseimbangannya. Sepanjang belum ada gangguan “paksa” maka apapun yang
terjadi, lingkungan itu sendiri tetap bereaksi secara seimbang” Perlu
ditetapkan daya dukung lingkungan untuk mengetahui kemampuan lingkungan
menetralisasi parameter pencemar dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan
seperti semula. Apabila bahan pencemar berakumulasi terus menerus dalam suatu
lingkungan, sehingga lingkungan tidak punya kemampuan alami untuk
menetralisasinya yang mengakibatkan perubahan kualitas. Pokok permasalahannya
adalah sejauh mana perubahan ini diperkenankan.
Tanaman tertentu menjadi
rusak dengan adanya asap dari suatu pabrik, tapi tidak untuk sebahagian tanaman
lainnya. contoh : dengan buangan air pada suatu sungai mengakibatkan peternakan
ikan mas tidak baik pertumbuhannya, tapi cukup baik untuk ikan lele dan ikan
gabus.
Berarti daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan emas berbeda dengan daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan lelelgabus, Kenapa demikian, tidak lain karena parameter yang terdapat dalam air tidak dapat dinetralisasi lingkungan untuk kehidupan ikan emas.
Ada saatnya makhluk tertentu dalam lingkungan punya kemampuan yang luar biasa beradaptasi dengan lingkungan lain, tapi ada kalanya menjadi pasif terhadap faktor luar. Jadi faktor daya dukung tergantung pada parameter pencemar dan makhluk yang ada dalam lingkungan.
H. Keterbatasan Kemampuan Manusia
Berarti daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan emas berbeda dengan daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan lelelgabus, Kenapa demikian, tidak lain karena parameter yang terdapat dalam air tidak dapat dinetralisasi lingkungan untuk kehidupan ikan emas.
Ada saatnya makhluk tertentu dalam lingkungan punya kemampuan yang luar biasa beradaptasi dengan lingkungan lain, tapi ada kalanya menjadi pasif terhadap faktor luar. Jadi faktor daya dukung tergantung pada parameter pencemar dan makhluk yang ada dalam lingkungan.
H. Keterbatasan Kemampuan Manusia
Manusia
sebagai pengolah sumber daya alam dituntut semaksimal mungkin untuk mengolah
sumber daya alam. Tapi banyak diantara manusia tersebut yang tidak mampu untuk
mengolah sumber daya alam yang telah tersedia yang mengakibatkan negara kita
selalu tertinggal dari Negara-negara lain diluar sana yang sudah maju. Padahal
negara-negara tersebut tidaklah memiliki sumber daya alam sebanyak yang kita
punya ,tpi mereka sselalu dapat mengolah setiap sumber daya alam yang telah
tersedia di Negara mereka yang membuat negara mereka terus maju.
Maka dari itu yang harus kita lakukan adalah kita harus lebih meningkatkan sumber daya manusia atau kemampuan dari masyarakat kita agar bisa memaksimalkan atau mengolah sumber daya alam kita yang begitu melimpah ini. Bukan mustahil jika kita bisa mengolahnya ,kita akan seperti Negara-negara yang telah maju atau bahkan melebihi mereka.
Maka dari itu yang harus kita lakukan adalah kita harus lebih meningkatkan sumber daya manusia atau kemampuan dari masyarakat kita agar bisa memaksimalkan atau mengolah sumber daya alam kita yang begitu melimpah ini. Bukan mustahil jika kita bisa mengolahnya ,kita akan seperti Negara-negara yang telah maju atau bahkan melebihi mereka.
Sumber :
Comments
Post a Comment